Sabtu, 22 Agustus 2009

PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA SEBAGAI BUDAYA DAN GAYA HIDUP

Sampah akan terus diproduksi selama manusia masih hidup. Sadarkah kita bahwa itu berarti setiap saat rumah kita bisa memproduksi sampah? Sampah yang dihasilkan dari rumah atau sampah rumah tangga, bisa berasal dari sisa bahan makanan, bungkus makanan, kemasan bahan pembersih rumah tangga, botol syrup, daun-daun kering dari tanaman di pekarangan rumah dan lain-lain.

Mari kita bayangkan apa yang akan terjadi seandainya sampah-sampah yang kita hasilkan itu tidak tertangani dengan tepat. Kita bisa saja berdalih bahwa urusan sampah menjadi tanggung jawab pemerintah melalui dinas kebersihan, namun bijaksanakah kita? Untuk itu marilah sekarang kita belajar mengelola sampah di sekitar kita, mulai dari memilah sampah sesuai jenisnya dan mengolahnya menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah.

Secara teori, industri memiliki kewajiban dalam pengelolaan limbah produksinya sendiri, dan di perusahaan tertentu diwajibkan memiliki instalasi pengolah limbah agar limbah yang dibuang tidak berbahaya bagi lingkungan. Pada akhirnya, banyak industri mengalihkan kewajiban pengelolaan limbah kepada pihak lain yang berminat mengelola limbah industri karena selain praktis mungkin juga nilai ekonomi yang cukup menjanjikan bagi pengelolanya. Lalu bagaimana dengan limbah rumah tangga, siapa yang berkewajiban mengelolanya sehingga tidak membahayakan lingkungan? Hanya perlu jawaban singkat, berani dan bijaksana, yaitu : KITA.

Mengapa sampah harus dikelola?

Tuhan menciptakan bumi dengan berbagai macam makhluk hidup yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan masing-masing memiliki peran tersendiri dalam kehidupannya agar dapat bersinergi dan hidup berdampingan dengan makhluk lain. Di dalam tanah terdapat berbagai jenis mikroorganisme yang bertugas menguraikan sampah dan menjadikan sampah sebagai makanan mereka. Namun harus diingat bahwa mikroorganisme tidak bisa menguraikan plastik dan pecahan kaca. Untuk itu kita sebagai manusia produsen sampah, harus mengelola sampah untuk menghindari terjadinya pencemaran tanah oleh bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan kita dan masa depan anak cucu kita. Tentu kita tidak ingin jika anak cucu kita kelak kelaparan karena tidak dapat menanam padi atau tanaman bahan pangan di tanah yang telah dilapisi oleh plastik bukan?. Semakin luas bidang tanah yang tercemar, maka semakin sempit lahan yang dapat memproduksi bahan pangan.


Pengelolaan sampah sebagai budaya dan gaya hidup

Tidak banyak orang yang tertarik untuk mengelola sampah rumah tangga. Namun, penulis yakin bahwa setiap orang ingin melakukan hal terbaik dalam hidupnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa setelah membaca tulisan ini, pembaca yang belum melakukan pengelolaan sampah akan mencoba melakukan pengolahan sampah.

Pengelolaan sampah akan menjadi budaya jika dipelajari dengan benar, dilakukan secara terus menerus, disebarluaskan kepada orang lain pada setiap komunitas minimal pada lingkungan tempat tinggal, dan diajarkan kepada anggota keluarga sejak masih kanak-kanak. Bagaimana orang Jawa bisa memasak rawon? Orang Padang bisa memasak rendang yang digemari banyak orang? Darimana mereka mengetahui bumbunya? Tentu mereka mengenal makanan tersebut sejak masih kecil dari keluarga dan lingkungannya secara turun-temurun. Sama halnya dengan pengelolaan sampah, akan menjadi budaya dan gaya hidup jika dilakukannya dimulai dari pribadi dan keluarga yang sadar dan peduli terhadap kebersihan, kesehatan dan kelestarian lingkungan.

Gaya hidup seseorang tumbuh dan berkembang sesuai trend perkembangan zaman dan “musim” yang sedang menghangat. Seperti halnya blogging, frienster, dan facebook, yang mewabah di kalangan masyarakat penelusur dunia maya, pengelolaan sampah juga bisa menjadi gaya hidup. Untuk itu perlu dikembangkan trend pengelolaan sampah bagi setiap individu agar bumi dan lingkungan hidup kita tetap lestari. Budaya 3R yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (daur ulang) sampah rumah tangga harus dipelajari sebagai langkah awal pengembangan gaya hidup sehat yang berwawasan lingkungan.

Pemerintah juga mempunyai peran besar dalam membentuk budaya pengelolaan sampah dengan mengeluarkan regulasi yang secara tegas diterapkan bagi seluruh penduduk. Tentu saja regulasi ini harus disertai dengan penindakan hukum secara konsekuen dan transparan bagi para pelanggarnya. Mungkin dari istilah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) bisa diganti dengan Tempat Pengelolaan Sampah (TPS). Singkatannya sama tetapi secara substansial memiliki makna berbeda bukan?.

Metode pengelolaan sampah rumah tangga terus dikaji dan dievaluasi untuk mendapatkan cara paling baik dan efektif. Saat ini banyak pihak terutama para pecinta lingkungan dan praktisi pengelolaan lingkungan hidup, mengembangkan metode pengelolaan sampah secara sederhana agar mudah dipraktekkan oleh semua lapisan masyarakat.

Metode Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Metode pengelolaan sampah rumah tangga yang paling sederhana dan mudah dilakukan oleh siapa saja adalah :

1. Memilah sampah sesuai jenisnya

Di negara maju seperti Jepang, pemilahan sampah sesuai jenisnya sudah menjadi gaya hidup dan dikukuhkan dengan peraturan pemerintah. Sampah yang kita jumpai sehari-hari terdiri dari dua jenis, yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organic adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup seperti sisa sayuran, daun, rumput, tulang atau duri ikan, kotoran hewan ternak, bangkai binatang dan lain-lain. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara alami, seperti kantong plastik, polybag bekas pengharum cucian atau bekas kemasan minyak goreng, pipa PVC (paralon), kaca, dan sebagainya.

Sampah anorganik dapat kita pilah lagi, mana yang dapat didaur ulang dan mana yang tidak. Sampah yang dapat didaur ulang masih memiliki nilai ekonomi yang cukup menjanjikan dan dapat menghidupi orang lain, yaitu pemulung dan keluarganya. Misalnya botol plastik bekas kemasan shampoo, botol kaca bekas syrup dan lain-lain. Namun ada juga sampah anorganik yang tidak memiliki nilai ekonomis dan pemulung tidak mau memanfaatkannya karena tidak laku dijual. Nah, untuk jenis sampah ini dapat kita musnahkan dengan cara dibakar, namun lokasi pembakaran tidak boleh sembarangan dan harus memperhatikan akibat bagi lingkungan sekitar, terutama bau dan asap.

2. Mengolah sampah organik menjadi kompos

Mungkin kita langsung membayangkan alangkah menjijikkannya ketika mendengar kata sampah, apalagi mengolahnya. Sebenarnya mengolah sampah adalah hal yang menyenangkan dan penuh tantangan jika kita memiliki tekad yang kuat untuk membuat bumi kita lebih baik. Diperlukan pengetahuan untuk suksesnya pengolahan sampah, namun hal itu tidaklah sulit dan dapat dipelajari sambil kita mempraktekkannya. Dan hal penting yang harus kita miliki adalah perasaan kasih sayang kepada bumi, perasaan iba kepada ibu pertiwi jika harus bekerja keras menguraikan sampah kita yang bermacam-macam jenisnya.

Mengolah sampah menjadi kompos bukan hal yang sulit. Selain dapat mengurangi efek negatif bagi lingkungan, kompos yang dihasilkan dapat kita manfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman hias kesayangan kita. Jika kompos yang kita produksi dalam jumlah besar, maka kita dapat menjualnya kepada agen tanaman hias atau kepada masyarakat pecinta tanaman. Jika kita mau beramal, kompos dalam jumlah besar tersebut dapat kita berikan kepada petani untuk meningkatkan hasil pertaniannya. Mudah bukan?

3. Membuat barang kerajinan tangan (handycraft) dari limbah

Sampah anorganik dari bahan plastik atau kertas karton dapat kita manfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan (handycraft) yang unik dan lumayan memiliki nilai estetika, tergantung dari kreatifitas kita. Seperti gambar di bawah ini, Polybag bekas kemasan pewangi pakaian dan sabun pencuci piring dimanfaatkan sebagai pot bagi tanaman philodendron, mawar, cabai keriting dan paprika. Cukup mememotong bagian atas, membuat pola bergerigi, dan melubanginya di beberapa tempat untuk sirkulasi udara. Media tanam adalah kompos buatan sendiri dan tanah.

STATUS QUO TKP SEBAGAI TITIK AWAL DARI PENYIDIKAN PERKARA PIDANA SECARA ILMIAH (CRIMINAL SCIENTIFIC INVESTIGATION)

Semakin tinggi kesadaran tentang hak azasi manusia, semakin tinggi pula tuntutan peningkatan kinerja kepolisian dalam hal penegakkan hukum. Penegakkan hukum secara professional, proporsional, procedural, modern, dan humanis menjadi sesuatu yang harus dipenuhi oleh Polri dalam mengemban tugasnya. Berat memang, namun itulah amanat undang-undang dan tuntutan profesi sebagai aparat negara penegak hukum sekaligus penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). 

Secara terminology, Profesional berarti mumpuni atau mahir di bidang pekerjaan yang digeluti. Orang yang bekerja secara professional akan melakukan pekerjaannya sesuai aturan dengan sungguh-sungguh, tulus, senang hati hingga menghasilkan suatu target terbaik yang diharapkan. Modern, berarti mengikuti trend teknologi terkini, up to date dan tidak ketinggalan zaman. Modern disini bukan hanya sekedar ikut-ikutan tanpa dasar melainkan mampu mengikuti perkembangan zaman dengan penyesuaian yang positif baik dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, cara berpikir dan cara bertindak. Sedangkan humanis berarti menghormati rasa kemanusiaan sehingga tidak ada pelanggaran hak azasi manusia (HAM). 

Pembuktian sebagai tolok ukur profesionalitas penyidikan 

Membuktikan adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi.

Hukum Pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, system yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. (Drs. Sasangka,SH, MH, dan Lily Rosita, SH, MH, dalam Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, hal 10, Bandung, 2003)

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah adalah :

1. keterangan saksi
2. keterangan ahli
3. surat
4. petunjuk
5. keterangan terdakwa

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah :
a. Bagi PU, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai surat atau catatan dakwaan.
b. Bagi terdakwa atau penasehat hokum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hokum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
c. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yanga da dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hokum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

Dalam pemeriksaan suatu perkara, penyidik meminta keterangan dari saksi, tersangka dan ahli (dalam kasus tertentu). Seluruh keterangan tersebut adalah dalam rangka untuk mengumpulkan fakta-fakta hukum guna mendukung pembuktian. Namun dari keterangan saja tidak cukup untuk membuktikan suatu perbuatan, karena keterangan manusia bisa berubah. Manusia bisa saja berbohong pada saat memberikan keterangan kepada penyidik, dengan berbagai alasan. Hal itu akan menjadi fatal jika tersangka mengingkari keterangannya yang telah diberikan kepada penyidik dan para saksi turut merubah keterangannya pada saat di persidangan. Jika bukti lain tidak mendukung maka tersangka/ terdakwa akan bebas, dan itu berarti akan melukai rasa keadilan di masyarakat. Untuk itulah penyidik dituntut mampu melakukan penyidikan perkara dengan pembuktian yang benar-benar berkualitas, dengan fakta yang tak terbantah sehingga mampu menggiring tersangka untuk memberikan keterangan dengan benar dan bertanggung jawab.

Alat bukti yang diajukan penyidik kepada jaksa penuntut umum digunakan sebagai dasar dan bahan pendukung dalam menyusun dakwaan dan tuntutan. Jika alat bukti yang diajukan tingkat akurasinya tinggi dan dapat diterima serta dijelaskan secara ilmiah, maka hal itu akan memudahkan jaksa dalam memberikan dakwaan dan tuntutan. Alat bukti yang diterima dari penyidik dan kemudian diajukan jaksa di muka siding pengadilan, dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara. Vonis yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa inilah yang ditunggu masyarakat pencari keadilan, apakah mampu memenuhi atau bahkan melukai rasa keadilan. Tampaklah disini bahwa pembuktian yang berkualitas menunjukkan profesionalitas penyidikan yang akan menentukan pemenuhan rasa keadilan dan mempertahankan martabat hukum di mata masyarakat.


Status quo TKP sebagai titik Awal Pembuktian Ilmiah

Status Quo TKP adalah kondisi tempat kejadian perkara (TKP) yang masih asli sebagaimana pada saat pelaku beraksi, atau sesaat setelah pelaku beraksi dan meninggalkan TKP. Status quo menjadi penting karena dari sinilah awalnya polisi mendapatkan petunjuk dan gambaran tentang bagaimana suatu tindak pidana terjadi dan bagaiana cara pelaku melakukan kejahatannya. Maka wajib bagi siapapun terutama anggota Polri yang pertama kali mendatangi TKP untuk mengamankan TKP sampai petugas identifikasi / petugas olah TKP datang. Secara umum pengamanan TKP adalah dengan cara memasang garis polisi (police line) di TKP dan area di sekitar TKP yang memungkinkan akan ditemukannya barang bukti. Selain bertujuan untuk mengamankan TKP, pemasangan police line juga bertujuan untuk menghalau massa agar tidak berkerumun di TKP. 

Bahwa pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hokum penyelesaian perkara pidana, sejak penyidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di siding pengadilan, tetapi sesungguhnya proses membuktikan sudah ada dan dimulai pada saat penyidikan. Bahkan, pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses perkara pidana oleh Negara. ( Adami Chazawi, 2006,Hukum Pembuktian TP Korupsi, hal 13)

Menurut Drs. Adami Chazawi, SH, MH, yang dimaksud dengan mencari bukti sesungguhnya adalah mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Bukti yang terdapat pada alat bukti itu kemudian diilai oleh pejabat penyelidik untuk menarik kesimpulan, apakah bukti yang ada itu menggambarkan asuatu peristiwa yang diduga tindak pidana atau tidak. Bagi penyidik, bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik kesimpulan, apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan tersangkanya.

Pada saat mendatangi TKP, kemudian melakukan olah TKP, mengamankan barang bukti, mengumpulkan fakta dan petunjuk, maka petugas polri sudah secara otomatis menyusun hypotessa / dugaan yang mengarah kepada siapa pelakunya dan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan. Untuk itu pengamanan TKP harus dilakukan dengan baik untuk menjaga agar TKP tidak rusak atau berubah. Mengapa demikian? Ada dua alasan, pertama karena TKP merupakan gudangnya bahan bukti yang menghubungkan dengan pelaku, dan kedua jika TKP rusak maka tidak dapat dikembalikan pada kondisi awal/ kondisi semula. Maka dapatlah disimpulkan bahwa status quo TKP dapat menjadi titik awal (starting point) pembuktian secara ilmiah dalam proses penyidikan perkara pidana.

Tidak jarang pada saat petugas tiba di TKP, kondisinya sudah berubah atau sudah tidak dalam keadaan status quo. Hal ini tentu bisa menjadi hambatan bagi upaya pengungkapan kasus, karena hal sekecil apapun di tempat kejadian dapat menjadi petunjuk atau alat bukti yang bernilai tinggi dalam pembuktian. 

Hambatan bagi terjaganya Status quo TKP

1. Pemahaman anggota Polri dan masyarakat masih minim.
 Tidak perlu dipungkiri bahwa kenyataannya masih ada anggota Polri yang kurang memahami pentingnya status quo, sehingga pada saat pertama kali tiba di TKP melakukan tindakan yang salah dan dapat merusak atau menghilangkan bukti di TKP, seperti misalnya sidik jari latent. Masyarakat awam banyak yang tidak tahu tentang status quo TKP.

2. Rasa ingin tahu masyarakat mengabaikan status quo.
 Seringkali masyarakat yang ingin tahu atau ingin menyaksikan suatu kejadian datang ke TKP berbondong-bondong dan berkerumun di TKP. Sudah bisa ditebak apa akibatnya bukan?

3. Bencana alam.


Faktor yang mendorong/ mendukung terjaganya status quo TKP

1. Respon positif polisi pada saat penerimaan laporan sehingga dapat bergerak cepat dan tepat dalam pengamanan TKP (quick respon).

2. Kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan suatu kejadian tindak pidana dan mampu menjaga status quo TKP sampai petugas polri datang.

3. Kemampuan polisi yang pertama kali datang ke TKP untuk melakukan tindakan pertama di TKP (TPTKP) utamanya dalam mengamankan TKP.

4. Masyarakat di sekitar TKP yang ingin tahu tidak berkerumun di TKP, melainkan di area aman di luar garis polisi.  

Mengingat TKP adalah gudang barang bukti, maka sebanyak mungkin hal-hal yang terdapat di TKP difoto secara seksama dan dikelola dengan baik untuk keperluan pembuktian. Seiring pemenuhan kebutuhan akan rasa keadilan yang berperikemanusiaan, pembuktian secara ilmiah sudah menjadi keharusan dalam setiap proses penyidikan. 

Pembuktian ilmiah meliputi bidang-bidang keahlian, antara lain:
1. Identifikasi (fotografi dan daktiloscopy)
2. Kedokteran forensik 
3. Dokumen forensik
4. Uji Balistik
5. Jihandak (penjinakan bahan peledak)
6. Teknologi Informasi
7. dan lain-lain


Pembuktian ilmiah sebagai budaya humanis dalam penegakkan hukum

Sebagaimana disebutkan di atas, pembuktian adalah suatu cara yang diajukan oleh pihak yang berperkara dimuka persidangan atau pengadilan untuk memberikan dasar keyakinan bagi hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang terjadi. Ilmiah erat kaitannya dengan istilah bahasa Inggris yaitu Science (sains) yang didefinisikan sebagai pengetahuan yang terorganisasi yang didapatkan melalui observasi dan fakta (oxford dictionary). Atau dalam bahasa Arab “Al Ilmu” yang oleh para ulama didefinisikan sebagai pengertian tentang sesuatu sesuai hakikatnya Jadi, pembuktian ilmiah adalah cara membuktikan suatu peristiwa dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terorganisasi sesuai fakta untuk meyakinkan hakim tentang kepastian kebenaran peristiwa yang terjadi.

Pembuktian secara ilmiah menghindari cara-cara kekerasan, intimidasi dan hal sejenis yang kemungkinan dilakukan penyidik terhadap tersangka. Jika penyidik sudah memiliki bukti yang cukup berbobot, maka proses pembuktian selanjutnya tidak terlalu sulit. Namun demikian, masih ada penyidik yang terkadang mengabaikan pembuktian secara ilmiah ini dan lebih mengutamakan mengejar pengakuan tersangka. Memang keterangan saksi dan keterangan terdakwa di pengadilan adalah alat bukti yang sah di mata undang-undang, namun keterangan manusia bisa berubah. Mungkin karena berbagai alasan seorang saksi atau terdakwa tiba-tiba merubah keterangannya dimuka sidang pengadilan. Namun jika bukti yang didapat berupa benda (dari TKP) maka benda inilah yang akan menerangkan suatu peristiwa, karena benda bersifat tetap.

Jika proses pembuktian yang dilakukan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach) maka hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah, hukum, dan kemanusiaan. Ini akan menjadi budaya humanis dalam penegakkan hukum, karena tetap menghormati hak-hak tersangka meskipun tersangka diduga kuat telah melanggar hak orang lain. Kalaupun nantinya tersangka dihadapkan dimuka sidang pengadilan sebagai terdakwa, maka vonis yang dijatuhkan hakim setimpal dengan perbuatannya. Dengan demikian setidaknya pemidanaan yang dijalaninya dapat menimbulkan efek jera (detterence effect).

Akibat Negatif dari kurangnya penggunaan pembuktian ilmiah dalam penyidikan antara lain :

1. Orang yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka menjadi bebas
2. Karena kekurangan bukti ilmiah, penyidik akhirnya mengejar pengakuan tersangka, sehingga bisa menghasilkan keterangan yang tidak obyektif. Tersangka bisa saja memberikan keterangan salah atau “asal ngomong agar selamat” sehingga menyebabkan penyidik salah tangkap, salah prosedur dan hal lain yang dapat melanggara HAM. 
3. Kepercayaan public atas kinerja aparat penegak hukum menurun
4. Mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara.
5. Tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat


Akibat positif penggunaan pembuktian ilmiah antara lain :

1. Tidak melanggar HAM
2. Keterangan tersangka dan saksi tidak dapat dipermainkan/ dirubah seenaknya karena dipengaruhi pihak lain, misalnya pengacara atau keluarganya.
3. Penyidik lebih professional dengan memperhatikan hal-hal kecil sejak pada proses cek TKP, tidak melulu mengejar pengakuan tersangka dalam pemeriksaan, namun tersangka akan terpojok dengan bukti yang dimiliki penyidik.
4. Mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutus perkara sehingga vonis yang dijatuhkan sesuai dengan perbuatan terdakwa.
5. Memenuhi rasa keadlian masyarakat, baik bagi korban maupun tersangka sehingga hasil kinerja lebih humanis.
6. Penyidik akan mengembangkan cara-cara ilmiah dalam penyidikan sehingga tidak pernah ketinggalan teknologi (gaptek).
7. Kepercayaan publik meningkat.


Daftar Pustaka :


Undang-undang RI No. 8 th 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Drs. Sasangka,SH, MH, dan Lily Rosita, SH, MH, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung, 2003.

Drs. Adami Chazawi, SH, MH, Hukum Pembuktian TP Korupsi, 2006.

JICA, Arti Penting Aktivitas Pengamanan TKP, Proyek Bekasi Proyek Peningkatan Aktivitas Polisi Sipil, 2007.

(http://tigornomics.blog.friendster.com).